Salah satu bentuk pungli di Indonesia :
Jakarta - Nasib yang dialami pasangan muda Sarwanto (34) - Ida (30) mungkin saja dialami oleh banyak pasangan muda lainnya. Di tengah ekonominya yang sangat terbatas, Sarwanto-Ida nekat untuk mengikat janji dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun, ternyata menikah secara resmi tidaklah murah bagi mereka. Biaya nikah yang seharusnya Rp 35 ribu bisa meroket hingga Rp 400 ribu.
Pungli alias pungutan liar oleh oknum Kantor Urusan Agama (KUA) memang nyata adanya, meski kabarnya sulit diusut. Gara-gara pungli ini, Sarwanto - Ida memutuskan untuk tidak menikah secara resmi dengan pencatatan di KUA. Keduanya terpaksa menikah di bawah tangan, yang mengakibatkan keduanya sering dianggap kumpul kebo.
Pasangan anak muda ini hanyalah pekerja buruh di pabrik yang berada di wilayah Jakarta Barat. Mereka hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Untuk biaya hidup, memang mereka masih merasa kembang-kempis. Namun, keinginan pasangan ini untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sudah menggebu-gebu, tak tertahankan. Keduanya ingin menghindari perbuatan zina. Lalu, nekatlah keduanya datang ke KUA. Namun, petugas KUA memberikan harga yang cukup membuat mereka berpikir ulang: nikah resmi atau nikah di bawah tangan.
"Petugas KUA Cengkareng meminta uang sebesar Rp 400 ribu, dengan perincian uangnya Rp 35 ribu untuk biaya pencatatan, Rp 215 ribu untuk penataran pernikahan, dan Rp 150 ribu untuk ongkos operasional," kata Sarwanto kepada detikcom saat ditemui dirumahnya di daerah Kamal, Jakarta Barat beberapa hari lalu.
Sarwanto merasa keberatan dengan harga yang diberikan oleh KUA. Maklum, uang yang ia miliki tidak cukup untuk itu. Sebelumnya biaya pernikahan yang tercantum di KUA hanya Rp 35 ribu. Akhirnya pasangan yang sama-sama merantau ini memutuskan untuk menikah secara siri alias di bawah tangan. Pasangan ini berharap bisa mendapatkan pelayanan gratis menikah di kemudian hari, seperti yang pernah dialami oleh teman se profesinya sesama pekerja pabrik.
Karena itu, saat pernikahan massal diadakan di wilayah Kotamadya Jakarta Barat, pasangan muda ini langsung mengambil inisiatif untuk meresmikan pernikahan mereka yang sudah berjalan tiga setengah tahun dan telah mempunyai seorang anak. Inisiatif ini untuk mendapatkan pengakuan hak anak yang sah dari negara dan bisa mengurus surat keterangan kelahiran anak mereka.
"Selama ini akte kelahiran itu belum jadi, karena kami tidak ada buku nikah," kata pria asal Boyolali Jawa tengah ini sambil menghisap rokok kreteknya di depan pintu kontrakannya.
Kontrakan Sarwanto yang hanya terdiri dua ruangan dan berukuran 3x3 meter itu terlihat penuh dan sumpek karena digabungkan dengan kamar tidur. Seorang bayi perempuan yang masih berumur 5 bulan tergolek lelap di pinggir dinding kamar, dekat tempat menanak nasi. Bayi inilah buah cinta Sarwanto - Ida. Sarwanto tidak mau anaknya tidak berhak mendapatkan pengakuan karena dianggap anak haram hasil di luar nikah.
Mungkin biaya pernikahan seperti itu untuk masyarakat tingkat menengah dan kalangan atas bukan merupakan masalah besar. Apalagi saat ini hampir sebagian orang tidak mau direpotkan dengan masalah yang kecil-kecil. Tapi bagi masyarakat bawah semacam Sarwanto yang hidup serba kekurangan, merupakan masalah yang sangat besar. Apalagi untuk masyarakat sekelas Sarwanto, masalah itu belum termasuk gunjingan-gunjingan dari para tetangga yang berdampak mengganggu mental isterinya. "Untung ada pernikahan massal yang gratis, kalau tidak kuping harus tebal," kata Sarwanto.
Praktek pungli yang dialami Sarwanto menambah coretan hitam untuk Departemen Agama (Depag) yang menaungi KUA sebagai tingkatan terkecil dari pelayanan jasa terhadap masyarakat. Banyak KUA melakukan permintaan dengan harga yang sama untuk melakukan pencatatan pernikahan dari sepasang anak adam dan hawa. Tidak hanya di KUA Cengkareng, tapi juga terjadi di Kecamatan Makassar Jakarta Timur. Bahkan di KUA ini, petugas meminta uang sesuai dengan kemampuan dari pasangan yang akan menikah.
Menurut Edi, seorang pria yang baru menikah dua bulan lalu di KUA Kecamatan Makassar, petugas KUA meminta uang sebesar Rp 700 ribu tanpa barang bukti sebagai tanda penerimaan. Jika pasangan yang ingin menikah meminta penurunan harga, maka biaya itu diturunkan mentok sampai Rp500 ribu oleh petugas KUA.
"Pertanyaan pertama yang diajukan petugas KUA adalah alamat tempat tinggal dan menikah di mana. Kalau alamat dan tempat menikahnya dinilai tempat mahal, maka harganya yang diminta petugas KUA bisa mencapai Rp 1 juta," kata Edi.
Edi mencontohkan tempat mahal untuk menikah di wilayah Jakarta Timur adalah Masjid At Tiin di dekat rekreasi keluarga Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Biasanya pasangan yang menikah di Masjid At-Tin adalah pasangan yang mampu dan tidak mau direpotkan oleh persyaratan pra nikah.
Kepala KUA Kecamatan Makassar HM Suwarno saat dihubungi detikcom melalui telepon genggamnya mengatakan biaya pernikahan itu hanya Rp 30 ribu untuk pendaftaran. Mengenai uang transpor yang diberikan ke penghulu, besarnya terserah si empunya hajat.
"Mengenai biaya itu biar saja orang tua yang mengurusinya, pokoknya yang menikah bersiap saja menghadapi lembaran hidup baru," kata Suwarno, Rabu pekan lalu.
Bagaimana Depag menyikapi petugas KUA-KUA yang nakal? Dirjen Bimas Islam Depag Nazarudin Umar mengatakan bahwa Depag sudah memiliki database mengenai KUA-KUA yang nakal dan telah dipegang oleg direkturnya. KUA-KUA yang telah diadukan memang lebih banyak di kawasan Jakarta.
Menurut Nazarudin, adanya pungli itu diduga karena biaya bedolan (menikah di rumah) sudah dihapuskan karena tidak sesuai dengan UU PNBP. Saat ini untuk penggantian dana bedolan itu, Depag telah memberikan subsidi dana operasional sebesar Rp 1 juta per bulan untuk tiap-tiap KUA.
Nazarudin juga menyadari kasus pungli ini merugikan banyak pihak. Namun, kata dia, untuk membuktikannya sangat sulit. "Saya sudah minta (biaya nikah) digratiskan, tapi anggaran negara tidak cukup untuk semua. Kami tidak pernah meninstruksikan untuk minta dana seperti itu dan saya tegaskan selalu setiap penyuluhan jangan sampai ada kesalahan yang terulang," tandas Nazarudin Umar.
Sedangkan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Depag Mukhtar Ilyas mengatakan pungli ini disebabkan oleh status Petugas Pembantu Pencatatan Nikah (P3N) yang bukan pegawai negeri sipil. "Biaya seperti ini biasa diminta untuk penataran pra nikah oleh P3N yang notabene bukan pegawai negeri," kata Mukhtar kepada detikcom.
Pria yang sering dipanggil Kiai ini mengatakan KUA adalah pelayanan masyarakat dan berada di tingkatan paling bawah, tidak boleh memungut biaya administrasi kecuali Rp 30 ribu. Ia juga menambahkan sosialisasi terhadap KUA juga sudah sering dilakukan. Namun, dia mengakui masih banyak KUA nakal yang memungut dana di luar prosedur.
"Setiap kita ketemu KUA selalu ditekankan masalah itu karena KUA sifatnya pelayanan, dalam setahun terakhir ini ada 12 KUA yang bermasalah di seluruh provinsi," kata Muktar Ilyas. Bagi petugas KUA yang bermasalah dan bisa dibuktikan, akan dikenakan sanksi berupa mutasi bahkan sampai dengan pemecatan.(ron/asy)
Dikutip dari DetikNews
Salam - utut -
Jakarta - Nasib yang dialami pasangan muda Sarwanto (34) - Ida (30) mungkin saja dialami oleh banyak pasangan muda lainnya. Di tengah ekonominya yang sangat terbatas, Sarwanto-Ida nekat untuk mengikat janji dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun, ternyata menikah secara resmi tidaklah murah bagi mereka. Biaya nikah yang seharusnya Rp 35 ribu bisa meroket hingga Rp 400 ribu.
Pungli alias pungutan liar oleh oknum Kantor Urusan Agama (KUA) memang nyata adanya, meski kabarnya sulit diusut. Gara-gara pungli ini, Sarwanto - Ida memutuskan untuk tidak menikah secara resmi dengan pencatatan di KUA. Keduanya terpaksa menikah di bawah tangan, yang mengakibatkan keduanya sering dianggap kumpul kebo.
Pasangan anak muda ini hanyalah pekerja buruh di pabrik yang berada di wilayah Jakarta Barat. Mereka hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Untuk biaya hidup, memang mereka masih merasa kembang-kempis. Namun, keinginan pasangan ini untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sudah menggebu-gebu, tak tertahankan. Keduanya ingin menghindari perbuatan zina. Lalu, nekatlah keduanya datang ke KUA. Namun, petugas KUA memberikan harga yang cukup membuat mereka berpikir ulang: nikah resmi atau nikah di bawah tangan.
"Petugas KUA Cengkareng meminta uang sebesar Rp 400 ribu, dengan perincian uangnya Rp 35 ribu untuk biaya pencatatan, Rp 215 ribu untuk penataran pernikahan, dan Rp 150 ribu untuk ongkos operasional," kata Sarwanto kepada detikcom saat ditemui dirumahnya di daerah Kamal, Jakarta Barat beberapa hari lalu.
Sarwanto merasa keberatan dengan harga yang diberikan oleh KUA. Maklum, uang yang ia miliki tidak cukup untuk itu. Sebelumnya biaya pernikahan yang tercantum di KUA hanya Rp 35 ribu. Akhirnya pasangan yang sama-sama merantau ini memutuskan untuk menikah secara siri alias di bawah tangan. Pasangan ini berharap bisa mendapatkan pelayanan gratis menikah di kemudian hari, seperti yang pernah dialami oleh teman se profesinya sesama pekerja pabrik.
Karena itu, saat pernikahan massal diadakan di wilayah Kotamadya Jakarta Barat, pasangan muda ini langsung mengambil inisiatif untuk meresmikan pernikahan mereka yang sudah berjalan tiga setengah tahun dan telah mempunyai seorang anak. Inisiatif ini untuk mendapatkan pengakuan hak anak yang sah dari negara dan bisa mengurus surat keterangan kelahiran anak mereka.
"Selama ini akte kelahiran itu belum jadi, karena kami tidak ada buku nikah," kata pria asal Boyolali Jawa tengah ini sambil menghisap rokok kreteknya di depan pintu kontrakannya.
Kontrakan Sarwanto yang hanya terdiri dua ruangan dan berukuran 3x3 meter itu terlihat penuh dan sumpek karena digabungkan dengan kamar tidur. Seorang bayi perempuan yang masih berumur 5 bulan tergolek lelap di pinggir dinding kamar, dekat tempat menanak nasi. Bayi inilah buah cinta Sarwanto - Ida. Sarwanto tidak mau anaknya tidak berhak mendapatkan pengakuan karena dianggap anak haram hasil di luar nikah.
Mungkin biaya pernikahan seperti itu untuk masyarakat tingkat menengah dan kalangan atas bukan merupakan masalah besar. Apalagi saat ini hampir sebagian orang tidak mau direpotkan dengan masalah yang kecil-kecil. Tapi bagi masyarakat bawah semacam Sarwanto yang hidup serba kekurangan, merupakan masalah yang sangat besar. Apalagi untuk masyarakat sekelas Sarwanto, masalah itu belum termasuk gunjingan-gunjingan dari para tetangga yang berdampak mengganggu mental isterinya. "Untung ada pernikahan massal yang gratis, kalau tidak kuping harus tebal," kata Sarwanto.
Praktek pungli yang dialami Sarwanto menambah coretan hitam untuk Departemen Agama (Depag) yang menaungi KUA sebagai tingkatan terkecil dari pelayanan jasa terhadap masyarakat. Banyak KUA melakukan permintaan dengan harga yang sama untuk melakukan pencatatan pernikahan dari sepasang anak adam dan hawa. Tidak hanya di KUA Cengkareng, tapi juga terjadi di Kecamatan Makassar Jakarta Timur. Bahkan di KUA ini, petugas meminta uang sesuai dengan kemampuan dari pasangan yang akan menikah.
Menurut Edi, seorang pria yang baru menikah dua bulan lalu di KUA Kecamatan Makassar, petugas KUA meminta uang sebesar Rp 700 ribu tanpa barang bukti sebagai tanda penerimaan. Jika pasangan yang ingin menikah meminta penurunan harga, maka biaya itu diturunkan mentok sampai Rp500 ribu oleh petugas KUA.
"Pertanyaan pertama yang diajukan petugas KUA adalah alamat tempat tinggal dan menikah di mana. Kalau alamat dan tempat menikahnya dinilai tempat mahal, maka harganya yang diminta petugas KUA bisa mencapai Rp 1 juta," kata Edi.
Edi mencontohkan tempat mahal untuk menikah di wilayah Jakarta Timur adalah Masjid At Tiin di dekat rekreasi keluarga Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Biasanya pasangan yang menikah di Masjid At-Tin adalah pasangan yang mampu dan tidak mau direpotkan oleh persyaratan pra nikah.
Kepala KUA Kecamatan Makassar HM Suwarno saat dihubungi detikcom melalui telepon genggamnya mengatakan biaya pernikahan itu hanya Rp 30 ribu untuk pendaftaran. Mengenai uang transpor yang diberikan ke penghulu, besarnya terserah si empunya hajat.
"Mengenai biaya itu biar saja orang tua yang mengurusinya, pokoknya yang menikah bersiap saja menghadapi lembaran hidup baru," kata Suwarno, Rabu pekan lalu.
Bagaimana Depag menyikapi petugas KUA-KUA yang nakal? Dirjen Bimas Islam Depag Nazarudin Umar mengatakan bahwa Depag sudah memiliki database mengenai KUA-KUA yang nakal dan telah dipegang oleg direkturnya. KUA-KUA yang telah diadukan memang lebih banyak di kawasan Jakarta.
Menurut Nazarudin, adanya pungli itu diduga karena biaya bedolan (menikah di rumah) sudah dihapuskan karena tidak sesuai dengan UU PNBP. Saat ini untuk penggantian dana bedolan itu, Depag telah memberikan subsidi dana operasional sebesar Rp 1 juta per bulan untuk tiap-tiap KUA.
Nazarudin juga menyadari kasus pungli ini merugikan banyak pihak. Namun, kata dia, untuk membuktikannya sangat sulit. "Saya sudah minta (biaya nikah) digratiskan, tapi anggaran negara tidak cukup untuk semua. Kami tidak pernah meninstruksikan untuk minta dana seperti itu dan saya tegaskan selalu setiap penyuluhan jangan sampai ada kesalahan yang terulang," tandas Nazarudin Umar.
Sedangkan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Depag Mukhtar Ilyas mengatakan pungli ini disebabkan oleh status Petugas Pembantu Pencatatan Nikah (P3N) yang bukan pegawai negeri sipil. "Biaya seperti ini biasa diminta untuk penataran pra nikah oleh P3N yang notabene bukan pegawai negeri," kata Mukhtar kepada detikcom.
Pria yang sering dipanggil Kiai ini mengatakan KUA adalah pelayanan masyarakat dan berada di tingkatan paling bawah, tidak boleh memungut biaya administrasi kecuali Rp 30 ribu. Ia juga menambahkan sosialisasi terhadap KUA juga sudah sering dilakukan. Namun, dia mengakui masih banyak KUA nakal yang memungut dana di luar prosedur.
"Setiap kita ketemu KUA selalu ditekankan masalah itu karena KUA sifatnya pelayanan, dalam setahun terakhir ini ada 12 KUA yang bermasalah di seluruh provinsi," kata Muktar Ilyas. Bagi petugas KUA yang bermasalah dan bisa dibuktikan, akan dikenakan sanksi berupa mutasi bahkan sampai dengan pemecatan.(ron/asy)
Dikutip dari DetikNews
Salam - utut -